Ketika anak tunanetra masuk ke lembaga pendidikan formal, maka pendekatan yang dinilai paling efektif adalah dengan jalan optimalisasi pendidikan inklusif secara berkelanjutan kepada tunanetra. Dalam pendidikan terpadu pun, pendidikan inklusif menjadi pilihan yang dirasakan sangat membantu terhadap pengembangan potensi dan skill tunanetra.
Pilihan model ini bagi tunanetra, sebenarnya banyak didorong oleh kemudahan yang menjadai karakteristik dari pendidikan inklusif. Sehingga tak heran, jika sistem segregasi tidak lagi dipakai dalam sistem belajar mengajar, dan sebagai pilihan yang dinilai sukses adalah dengan menerapkan pendidikan inklusif bagi kalangan tunanetra.
Dalam pandangan Didi Tarsito, pendidikan dalam setting segregasi memang dapat memberikan lingkungan belajar yang aman, nyaman dan memenuhi kebutuhan khusus anak tunanetra secara akademik, tetapi cenderung memisahkan anak dari lingkungan sosialnya (termasuk dari lingkungan keluarganya), dan kurang memberi kesempatan kepada anak untuk bersosialisasi secara lebih luas. Pada gilirannya, segregasi tidak memberikan kesempatan kepada masyarakat luas untuk mengenal orang tunanetra secara benar.
Dalam artian, model pendidikan ini, berupaya memberikan kesempatan yang sama kepada semua anak, termasuk anak tunanetra-agar memperoleh kesempatan belajar yang sama, di mana semua anak memiliki akses yang sama ke sumber-sumber belajar yang tersedia, dan sarana yang dibutuhkan tunanetra dapat terpenuhi dengan baik. Maka tak berlebihan, jika Sekolah reguler dengan orientasi inklusi merupakan alat yang paling efektif untuk memerangi sikap diskriminatif, menciptakan masyarakat yang ramah, membangun masyarakat yang inklusif dan mencapai "pendidikan bagi semua" (education for all).
Demi masa depan tunanetra, pendidikan inklusif harus berjalan secara optimal dan segala kebutuhan tunanetra dalam proses belajar mengajar diupayakan dapat terpenuhi. Adanya pendidikan inklusif ini, ternyata telah dijamin oleh Undang-Undang Nomer 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, yang dalam penjelasannya disebutkan, bahwa "penyelenggaraan pendidikan untuk peserta didik berkelainan atau memiliki kecerdasan luar biasa diselenggarakan secara inklusif atau berupa sekolah khusus. Teknis penyelenggaraannya tentunya akan diatur dalam bentuk peraturan operasional".
Untuk itulah, dalam implementasi pendidikan inklusif, kita memerlukan upaya maksimal yang dapat mengantarkan anak-anak tunanetra mencapai pendidikannya secara inklusif dan integral. Dalam hal ini, Sunardi (2002) memberikan lima poin penting penerapan pendidikan inklusif bagi kalangan tunanetra.
Pertama, menciptakan dan menjaga komunitas kelas yang hangat, menerima keanekaragaman, dan menghargai perbedaan. Kedua, mengajar kelas yang heterogen memerlukan perubahan pelaksanaan kurikulum secara mendasar. Ketiga, menyiapkan dan mendorong guru untuk mengajar secara interaktif. Keempat, penyediaan dorongan bagi guru dan kelasnya secara terus menerus dan penghapusan hambatan yang berkaitan dengan isolasi profesi. Kelima, melibatkan orang tua secara bermakna dalam proses perencanaan.
Dengan setting pendidikan inklusif ini, masa depan tunanetra yang pada awalnya terus menerus termarginalkan dan terabaikan dari lingkungan masyarakat dan pergaulan dengan teman-temannya, diharapkan mampu bangkit dari diskriminasi dan tindakan sewenang-wenang orang-orang yang tidak memiliki kesadaran. Tentu hal ini, dapat terwujud apabila penerapan pendidikan inklusif berjalan optimal dan memberikan kobaran semangat bagi tunanetra.