Selasa, 19 Mei 2009

Ujian Nasional yang Tak Sebaiknya Ada

Setelah beberapa kali menjadi pengawas Ujian Nasional (UN) dari tahun 1993 s.d. 2008, saya berkesimpulan sebaiknya UN tak Perlu ada. Mengapa? UN hanya menjadi target sekolah-sekolah tertentu untuk mempertahankan prestisenya. Sekolah hanya memprimadonakan beberapa pelajaran saja. Tak terlihat lagi kesungguhan pihak sekolah untuk juga memperhatikan pelajaran lainnya khususnya di kelas 9 SMP. Telah terjadi pemisahan dua guru. Guru UN dan guru US (ujian Sekolah). Anak-anak hanya difokuskan untuk mengerjakan soal-soal UN. Potensi siswa seolah-olah hanya terukur dari nilai UN. Bagi sekolah yang mempunyai dana banyak, tentu tak akan mengalami banyak kesulitan menghadapi UN, lantas bagaimana dengan sekolah-sekolah papan bawah yang tak memiliki dana?

Sebagai pendidik, saya tak setuju adanya ujian nasional. Sebab ujian nasional hanya mementingkan pelajaran-pelajaran tertentu saja. Menguntungkan guru UN dan mengesampingkan guru US. Guru UN menjadi berkantong tebal karena adanya UN, dan guru US melongo dan diam tak bergerak ketika jam mengajarnya dirampas untuk pendalaman materi (PM) UN.

Banyak sekolah terjebak untuk melakukan pendalaman materi dan try out-try out yang berujung kepada beratnya orang tua siswa untuk membiayai persiapan Ujian nasional itu. Kalau sudah demikian apa bedanya sekolah dengan bimbingan belajar? Kalau hanya untuk mengejar nilai UN, anak tak perlu sekolah. Cukup kita titipkan kepada lembaga bimbingan belajar. Dijamin anak itu akan dapat mengerjakan soal dan mencapai nilai yang tinggi dalam UN. Bahkan anak yang bodoh sekalipun akan lulus, karena terus menerus di drill untuk mengerjakan soal-soal UN. Nggak percaya? Lihat saja poster dan spanduk bimbingan belajar yang mengatakan kalau lembaganya mampu meluluskan para peserta didiknya lulus 100%. Bahkan mereka terang-terangan menuliskan sekolah atau perguruan tinggi yang telah berhasil dimasuki oleh siswa binaannya.

Alangkah lebih baiknya, bila sekolah tak lagi memberatkan orang tua siswa dengan biaya-biaya yang menurut saya bisa digunakan untuk kepentingan yang lebih berarti daripada UN. Dana itu bisa kita gunakan untuk mengembangkan potensi siswa. Melahirkan keunikan-keunikan siswa yang akan menjadi bekalnya di masa datang.

Sebaiknya UN tak perlu ada bila hanya merepotkan guru dan para orang tua siswa. Guru-guru mata pelajaran UN seperti mesin yang harus siap memberikan pendalaman materi UN. Orang tua siswa seperti mesin uang yang harus siap membayar persiapan UN itu. Sedangkan guru US dibiarkan menonton tanpa ekspresi melihat kejadian ini.

Saya ingin menyarankan kepada pemerintah, sebaiknya pelaksanaan UN dievaluasi lagi. Cara-cara melaksanakan UN nampaknya sudah harus dirubah seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. (iptek). Perkembangan iptek itu juga harus diiringi dengan keimanan dan ketakwaan (imtak) agar anak-anak yang bersekolah itu tidak hanya cerdas dan pintar, tetapi memiliki budi pekerti yang luhur.

Kelulusan sebaiknya tidak ditentukan lagi oleh 4 mata pelajaran UN. Seolah-olah pemerintah hanya memperhatikan matematika, bahasa inggris, bahasa indonesia, dan matematika. Pelajaran lain? Hanya merupakan pelengkap penderita. Biarlah anak tak usah berolahraga, biarlah anak tak usah belajar agama, biarlah anak tak usah belajar ekonomi, biarlah anak tak usah tahu geografi dan sejarah, biarlah anak tak tahu apa itu Teknologi informasi dan komunikasi, dan biarkanlah anak tak menjadi warga negara yang baik, karena PKn hanya pelajaran pengenalan pancasila dan Kewarganegaraan. Sementara itu anak tak perlu belajar musik dan seni rupa karena sekolah tak mengarahkan mereka menjadi seniman.

Bolak-balik saya baca tujuan UN. Tujuan UN adalah untuk mengukur pencapaian hasil belajar peserta didik melalui pemberian tes pada siswa sekolah lanjutan tingkat pertama dan sekolah lanjutan tingkat atas. Selain itu UN bertujuan untuk mengukur mutu pendidikan dan mempertanggungjawabkan penyelenggaraan pendidikan di tingkat nasional, provinsi, kabupaten, sampai tingkat sekolah.

UN berfungsi sebagai alat pengendali mutu pendidikan secara nasional, pendorong peningkatan mutu pendidikan secara nasional, bahan dalam menentukan kelulusan peserta didik, dan sebagai bahan pertimbangan dalam seleksi penerimaan pada jenjang pendidikan yang lebih tinggi.

Saya memahami apa yang dimaksudkan pemerintah mengadakan UN. Pemerintah ingin pendidikan bangsa ini berkualitas, dan untuk mencapainya harus dimulai dari adanya UN.

Bagi saya sebagai pendidik, UN bukanlah cara untuk meningkatkan kualitas pendidikan. Masih banyak cara lain yang dapat kita gunakan untuk melakukan proses evaluasi dan peningkatan mutu pembelajaran. Salah satu caranya adalah dengan mengembangkan potensi dan bakat yang dimiliki oleh masing-masing peserta didik. Sudah tidak zamannya lagi anak harus dipaksakan untuk menuruti kemauan kita sebagai orang tua. Biarkan mereka berkembang dengan bakat dan potensi yang dimilikinya.

Dengan banyaknya pelajaran yang ada di sekolah, khususnya SMP sebenarnya sudah dapat membuat anak memunculkan potensi yang dimilikinya. Akan terlihat anak-anak yang unggul dalam pelajaran A, dan unggul dalam pelajaran B, demikian seterusnya.

Menurut Undang-Undang No. 20 Tahun 2004 pendidikan merupakan usaha sadar dan terencana untuk mengembangkan segala potensi yang dimiliki peserta didik melalui proses pembelajaran. Pendidikan bertujuan untuk mengembangkan potensi anak agar memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, berkepribadian, memiliki kecerdasan, berakhlak mulia, serta memiliki keterampilan yang diperlukan sebagai anggota masyarakat dan warga negara. Untuk mencapai tujuan pendidikan yang mulia ini disusunlah kurikulum yang merupakan seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan dan metode pembelajaran. Kurikulum digunakan sebagai pedoman dalam penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan yang telah ditentukan. Untuk melihat tingkat pencapaian tujuan pendidikan, diperlukan suatu bentuk evaluasi.

Pertanyaannya sekarang, apakah bentuk evaluasi harus dengan dilaksanakannya UN yang terpusat?

UN sebaiknya tak perlu diadakan lagi, karena dia hanya proyek pejabat pemerintah yang tak memahami arti sebuah pendidikan. Bagaimana pendapat anda? Mungkin anda akan berseberangan dengan pendapat saya, mari kita saling mengisi dan mengomentari permasalahan ini.

Masa Depan Tunanetra dan Optimalisasi Pendidikan Inklusif

Ketika anak tunanetra masuk ke lembaga pendidikan formal, maka pendekatan yang dinilai paling efektif adalah dengan jalan optimalisasi pendidikan inklusif secara berkelanjutan kepada tunanetra. Dalam pendidikan terpadu pun, pendidikan inklusif menjadi pilihan yang dirasakan sangat membantu terhadap pengembangan potensi dan skill tunanetra.

Pilihan model ini bagi tunanetra, sebenarnya banyak didorong oleh kemudahan yang menjadai karakteristik dari pendidikan inklusif. Sehingga tak heran, jika sistem segregasi tidak lagi dipakai dalam sistem belajar mengajar, dan sebagai pilihan yang dinilai sukses adalah dengan menerapkan pendidikan inklusif bagi kalangan tunanetra.

Dalam pandangan Didi Tarsito, pendidikan dalam setting segregasi memang dapat memberikan lingkungan belajar yang aman, nyaman dan memenuhi kebutuhan khusus anak tunanetra secara akademik, tetapi cenderung memisahkan anak dari lingkungan sosialnya (termasuk dari lingkungan keluarganya), dan kurang memberi kesempatan kepada anak untuk bersosialisasi secara lebih luas. Pada gilirannya, segregasi tidak memberikan kesempatan kepada masyarakat luas untuk mengenal orang tunanetra secara benar.

Dalam artian, model pendidikan ini, berupaya memberikan kesempatan yang sama kepada semua anak, termasuk anak tunanetra-agar memperoleh kesempatan belajar yang sama, di mana semua anak memiliki akses yang sama ke sumber-sumber belajar yang tersedia, dan sarana yang dibutuhkan tunanetra dapat terpenuhi dengan baik. Maka tak berlebihan, jika Sekolah reguler dengan orientasi inklusi merupakan alat yang paling efektif untuk memerangi sikap diskriminatif, menciptakan masyarakat yang ramah, membangun masyarakat yang inklusif dan mencapai "pendidikan bagi semua" (education for all).

Demi masa depan tunanetra, pendidikan inklusif harus berjalan secara optimal dan segala kebutuhan tunanetra dalam proses belajar mengajar diupayakan dapat terpenuhi. Adanya pendidikan inklusif ini, ternyata telah dijamin oleh Undang-Undang Nomer 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, yang dalam penjelasannya disebutkan, bahwa "penyelenggaraan pendidikan untuk peserta didik berkelainan atau memiliki kecerdasan luar biasa diselenggarakan secara inklusif atau berupa sekolah khusus. Teknis penyelenggaraannya tentunya akan diatur dalam bentuk peraturan operasional".

Untuk itulah, dalam implementasi pendidikan inklusif, kita memerlukan upaya maksimal yang dapat mengantarkan anak-anak tunanetra mencapai pendidikannya secara inklusif dan integral. Dalam hal ini, Sunardi (2002) memberikan lima poin penting penerapan pendidikan inklusif bagi kalangan tunanetra.

Pertama,
menciptakan dan menjaga komunitas kelas yang hangat, menerima keanekaragaman, dan menghargai perbedaan. Kedua, mengajar kelas yang heterogen memerlukan perubahan pelaksanaan kurikulum secara mendasar. Ketiga, menyiapkan dan mendorong guru untuk mengajar secara interaktif. Keempat, penyediaan dorongan bagi guru dan kelasnya secara terus menerus dan penghapusan hambatan yang berkaitan dengan isolasi profesi. Kelima, melibatkan orang tua secara bermakna dalam proses perencanaan.

Dengan setting pendidikan inklusif ini, masa depan tunanetra yang pada awalnya terus menerus termarginalkan dan terabaikan dari lingkungan masyarakat dan pergaulan dengan teman-temannya, diharapkan mampu bangkit dari diskriminasi dan tindakan sewenang-wenang orang-orang yang tidak memiliki kesadaran. Tentu hal ini, dapat terwujud apabila penerapan pendidikan inklusif berjalan optimal dan memberikan kobaran semangat bagi tunanetra.